Rabu, 14 September 2011

Banjir yang Menyisakan Luka dan Trauma dalam Hidup Zoe Kecil

Berhubung sekarang sedang musim hujan, zo punya pengalaman tidak menyenangkan disaat musim hujan seperti ini. Semua orang pasti tahu  bahwa musim hujan sangat identik dengan banjir.


Cerita ini terjadi pada pertengahan November tahun 2000 sekitar 3 hari sebelum Ramadhan 1421H, saat zo masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Bireuen, Aceh Utara.

Minggu pagi sekitar pukul 06.00 zo terbangun karena mendengar banyak suara-suara dari arah luar, zo heran kenapa sepagi ini suasana sudah begitu ramai. Terasa ada yang berbeda saat zo menapakkan kaki dilantai kamar pagi itu, dingin dan basah. Entah bagaimana ceritanya, rumah kami tergenang air setinggi mata kaki. Namanya masih anak-anak, bukan rasa takut yang muncul melainkan rasa ”wah” dan sensasi menyenangkan yang melintas dikepala zo. Zo langsung membangunkan dek Ida yang masih tertidur lelap. Sesekali Ibu terlihat melintas dengan cepat didepan kami, beliau sibuk menyapu dan menghalangi air agar tidak terus masuk kedalam rumah.

Kejadian seperti ini belum pernah terjadi di daerah ini sebelumnya, sehingga menjadi hal yang menarik bagi zo dan dek ida, berbeda dengan Ibu yang pagi ini sudah sibuk mengangkati beberapa barang ke tempat yang lebih tinggi. Saat mengetahui kami telah bangun dari tidur, Ibu meminta kami untuk mengumpulkan baju dari dalam lemari, buku-buku serta keperluan sekolah dan membungkusnya dengan kain sarung agar segera diamankan keatas plafond rumah yang terbuat dari papan. Ida yang bertubuh kecil dan ringan diminta untuk naik keatas plafond terlebih dahulu. Ia menaiki pundak Ibu dan memanjat sampai keatas untuk menyambut barang-barang yang zo dan Ibu julurkan padanya satu persatu.

Saat itu Ayah sedang tidak ada dirumah bersama kami karena beliau sedang berada diluar kota untuk berdagang dalam beberapa hari ini. Ayah tidak bisa dihubungi atau dikabari dengan segera karena pada saat itu belum ada handphone, sehingga beliau sama sekali tidak tahu menahu kalau rumah kami kebanjiran di pagi ini. 

Setelah semua pakaian, baju, buku-buku dan keperluan sekolah berhasil diamankan ke atas plafond rumah, Ibu bergegas meminta pertolongan kepada seorang tetangga yang tinggal disebelah kiri rumah untuk membantu mengangkat televisi, DVD dan beberapa alat elektronik berat lain ke atas lemari dan mengikatkannya dengan kain selendang panjang agar tidak jatuh. Ibu dengan semangat tanpa pantang menyerah terus berusaha mengamankan apapun agar selamat dari genangan air banjir, naluri seorang Ibu yang patut diacungi banyak jempol.

Air yang menggenangi rumah kontrakan kami jauh lebih tinggi dibandingkan dengan air yang menggenangi rumah tetangga lain jauh didepan karena letak kontrakan kami memang lebih rendah. Selain itu tepat dibelakang rumah ada sebuah parit besar dimana airnya ikut meluap dan masuk ke dapur masak yang menjadi salah satu alasan kenapa Ibu begitu panik serta berusaha dengan cepat agar barang-barang yang ada dirumah ini jangan basah tergenang air ataupun hanyut terbawa arus parit besar yang menderu-deru dari arah belakang rumah. 

Berbeda dengan seorang tetangga yang rumahnya berada di depan tak jauh dari kontrakan kami, anak muda bernama Iqbal itu sedang sibuk mengeruk pasir yang akan digunakan untuk merenovasi rumah mereka menggunakan sekop. Ia berlomba dengan air yang semakin lama semakin naik dan mulai menggenangi pasir yang tertimbun tak begitu tinggi tersebut. Tanpa lelah ia mengeruk pasir dan memindahkannya ke dalam truk. Benar saja arus air yang semakin kencang dan meninggi membuat pasir tersebut hanyut perlahan sedikit demi sedikit.

Walau hari masih pagi sekitar pukul 7.30 pagi, ternyata sudah banyak anak-anak seumuran zo sedang asyik bermain air dengan riang dihalaman rumah kami yang sangat luas yang kini lebih mirip seperti bentangan sungai nan besar. Zo pun merasa terpanggil untuk bergabung bersama mereka menikmati arus air yang jarang bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya.

Banyak hal yang kami lakukan saat itu, mulai dari main hanyut-hanyutan (bangun lagi dan mengulangi hal yang sama berkali-kali tanpa bosan).  Permainan melawan arus juga terasa sangat menarik, dimana kami beramai-ramai berpegangan tangan, berjalan melawan arus banjir yang kini sudah mencapai ketinggian sepinggang anak kecil.

ilustrasi
Dari depan pintu rumah terdengar Ibu memanggil. Kami pun bergegas kembali kerumah dan menemui Ibu, mungkin beliau butuh bantuan kami lagi. Ibu berkata bahwa air banjir ini sangat jorok karena telah bercampur dengan air parit dari belakang rumah. Mendengar itu kami segera kekamar mandi yang dinding belakangnya telah hancur karena terjangan air parit yang deras. Untung saja "cincin" atau semen pinggiran sumur yang agak tinggi dan rapat membuat air didalam sumur belum terkontaminasi walaupun volume air didalamnya telah rata dengan ketinggian air banjir diluar cincin sumur tersebut. Zo tidak perlu menimba untuk mengambil airnya, cukup dengan di ciduk menggunakan baskom plastik saja.

Tiba-tiba adik zo berteriak ketakutan saat ia melihat ada ular yang melintas terbawa arus, ular itu tidak hanyut, melainkan sedang berenang. Kearah kami berdua. Ular berwarna hijau kecil itu berenang dengan lihai diantara pecahan-pecahan papan berwarna cokelat tua yang hanyut.

Dihalaman rumah yang luas arus banjir juga makin deras dan telah mencapai ketinggian sekitar perut orang dewasa yang artinya telah setinggi leher kami. Ibu terlihat sangat bingung karena ia merasa terjebak didalam rumah bersama dua anaknya yang masih kecil dengan kondisi dinding kamar mandi yang telah hancur dan menganga karena arus parit yang sangat deras dibelakang rumah. Di halaman depan rumah pun arus banjir tak kalah derasnya.

Tanpa sengaja zo melihat Ibu menitikkan air mata yang membuat tangis zo dan dek Ida meledak. Beberapa tetangga sudah lebih dulu mengungsi kerumah berjenis panggung yang tak jauh dari halaman rumah kami. Salah seorang tetangga dari seberang melihat kami yang masih berdiri di bibir pintu sedang menunggu pertolongan, siapapun.

Alhamdulillah pria yang biasa kami panggil Tulang pun akhirnya datang dan menyeberang arus kearah kami yang masih terus berdiri dan berpegangan erat dibibir pintu. Dengan gagahnya ia melawan arus sambil membawa tali dengan diameter lumayan besar yang dililitkan di pundak sebelah kiri. Sambil terus melawan arus yang semakin lama semakin kencang, ia mengikatkan tali tersebut pada kusen diantara dua daun jendela rumah kami.

Setelah ikatannya terasa cukup kokoh untuk berpegangan, Tulang pun berteriak kepada seorang tetangga lain yang sedang menunggu diseberang halaman. Beberapa menit kemudian ia pun datang untuk menolong kami menyeberangi air banjir yang kini lebih mirip dengan aliran arus sungai yang deras. Tulang mengangkat dek Ida ke punggungnya dan menyuruh dek Ida untuk berpegangan dengan erat dilehernya agar tidak terlepas. Seperti sedang mengikuti outbond kami semua menyeberang arus banjir yang deras dengan meniti tali.

Pertama-tama, Tulang menyeberangkan Ida diikuti oleh ibu ditengah dan zo yang juga sedang digendong tetangga lain berada dibelakang beliau. Sesekali zo bisa melihat kalau Ibu terus menitikkan air mata dan dek Ida yang terus menangis tanpa henti dibelakang punggung Tulang kami. Melihat itu, zo justru menjadi seorang anak yang lebih tegar, sama sekali tidak menangis. Ibu pasti sedih karena betapa beratnya kami disaat seperti ini tanpa ada Ayah disisi kami. Seandainya Ayah ada, pasti tak akan sesedih dan seberat ini. Namun zo sedikit pun tidak pernah terfikir untuk menyalahkan Ayah karena beliau tidak berada bersama kami disaat saat sulit seperti ini, karena kami tahu Ayah juga sedang berusaha serta berjuang mencari nafkah untuk menyambung hidup kami, diluar kota sana.

Akhirnya kami sampai juga di rumah tetangga yang letak rumahnya jauh lebih tinggi.

Dari jendela rumah itu, zo melihat ayam jago kesayangan Ayah sedang berdiri diatas sebuah kandang yang perlahan-lahan mulai hanyut terbawa arus air banjir. Zo sedih karena ayam jago tersebut adalah kesayangan ayah yang juga jagoan zo saat beradu dengan ayam teman-teman lain dilingkungan itu. Beberapa saat kemudian, arus air yang deras membawa ayam itu beserta kandangnya.  Walau tak sanggup, tapi zo terus mematung menyaksikan ayam kebanggaan zo itu mencoba bertahan sekuat tenaga saat terombang ambing, hingga akhirnya arus air yang deras menghanyutkan kandang tempat ia berpijak dan menghilang tepat didepan pandangan zo.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar