Rabu, 21 September 2011

Legenda Tanah Gayo: Puteri Pukes, Putri yang berubah menjadi Batu.

Tidak semua orang Takengon (Gayo) mengetahui cerita legenda Putri Pukes secara lengkap dan dengan jalan cerita yang sama. Beberapa orang menceritakan dalam versi mereka sendiri, sama seperti ketika mendongeng untuk adik-adik zo yang masih kecil. Zo selalu menambahkan beberapa watak yang tidak boleh ditiru dan beberapa tokoh yang baik untuk ditiru, karena inti dari mendongeng kepada seorang anak kecil adalah ingin menasehati dengan cara yang menarik, seperti dengan menceritakan sebuah cerita yang akan melekat dalam ingatannya.

Menurut cerita dan informasi yang zo kumpulkan dari beberapa sumber yang mengetahui tentang legenda Putri Pukes, zo ingin membagi kisah ini kepada semua sahabat di manapun berada dan kepada teman-teman yang mengetahui cerita ini secara benar, mohon koreksinya.

Gua Puteri Pukes yang didalamnya terdapat sumur tua yang berair 3 bulan dan 3 bulan lagi tidak.
Gua Putri Pukes terletak di sebelah Utara, tepatnya di sebuah kampung bernama ‘Mendale’, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Putri Pukes sendiri merupakan nama seorang anak gadis semata wayang dan kesayangan seorang ibu dari sebuah keluarga yang tinggal di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.

Suatu hari, ia dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari kampung bernama “Samar Kilang”, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang telah berubah menjadi Kabupaten Bener Meriah).

Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.

Dalam adat setempat, mempelai wanita diharuskan untuk tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan yang dilaksanakan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai pulang menuju tempat tinggal mempelai pria. Prosesi ini dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’.

Pada saat prosesi ‘munenes’, mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem ‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ke tempat orangtuanya.

Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ atau ‘angkap’. Dalam sistem Kuso Kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan pihak suami. Sementara sistem ‘angkap’, kebalikan dari sistem ‘juelen’. Pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan tinggal bersama keluarga pihak wanita.

Pernikahan dengan sistem ‘angkap’ terjadi disebabkan karena si mempelai pria sebelumnya meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita agar dinikahkan dengan putrinya dengan alasan karena sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama keluarga mempelai wanita.

Saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putri semata wayangnya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria, bahwa nanti sebelum ia melewati daerah rawa-rawa yang sekarang disebut dengan Danau Laut Tawar,  ia jangan pernah melihat ke belakang.

Selama perjalanan menuju rumah mempelai pria, sang putri pun mencoba kuat dan terus berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih dan rindu dengan sang ibu tercinta membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya.


Secara tak sengaja putri menoleh ke belakang. Sontak, tiba-tiba Putri Pukes merasa kalau ia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya yang seketika saja terasa membeku dan terasa sangat kaku.  Rasa kaku tersebut makin mejalar naik dari kaki, ke perut, leher hingga akhirnya sang putri pun menjadi batu. Mempelai Pria pun merasa ada yang ganjil dengan perjalanannya, Putri Pukes yang sejak tadi berada disisinya kini tidak lagi berada disana. Ia pun penasaran dan menoleh kebelakang. Ketika matanya tertuju pada sang putri yang telah menjadi batu, ia pun terkejut. Karena saking cintanya dengan Puteri Pukes, Ia pun berdoa agar bisa dipersatukan selamanya. Suami yang baru dinikahi oleh Puteri Pukes pun ikut menjadi batu beserta semua barang bawaan.

Sosok Puteri Pukes yang telah menjadi batu dan terus mengeluarkan air mata hingga sekarang.

Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami.

Abdullah si penjaga gua, menceritakan, batu Putri Pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut masih menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin membesar.

Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah bawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes,” jelas Abdullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar