Kamis, 15 September 2011

Zoe Harahap dan Sejarah kota Padang Sidempuan, Bireuen dan Takengon (Aceh Tengah)

Hal menyenangkan saat kita harus tinggal di beberapa daerah atau berpindah-pindah tempat adalah kita bisa mengenal dan berteman dengan orang dengan latar belakang suku, kebiasaan dan adat yang berbeda.

Zo dilahirkan di sebuah desa bernama Huta Baru Sipenggeng, Padang Sidempuan. Masa bayi dan balita, zo habiskan disana hingga usia zo menginjak 3 tahun. Kemudian ayah mengajak kami untuk merantau ke kota Medan demi kehidupan yang lebih baik. Selama hampir dua tahun mencoba peruntungan di Kota Medan, namun Ayah dan kami belum merasakan peningkatan taraf hidup yang berarti. Walau menurut Ayah di Medan sedikit lebih baik dibandingkan saat kita hidup didesa, tapi kebutuhan di Medan yang semakin menyulitkan keluarga membuat Ayah memutuskan untuk kembali mencoba mengadu nasib dan meninggalkan kami untuk sementara merantau ke kota Bireun, Aceh Utara.

Akhirnya setelah Ayah merasa bahwa kota Bireuen sedikit lebih baik, beliau pun memutuskan untuk membawa serta kami pindah kesana. Sejak umur 5 hingga 14 tahun, kami tinggal di Bireuen. Banyak cerita dan pengalaman berharga yang zo rasakan selama berada disana. Namun saat baru beberapa hari menginjak kelas 2 SMP, Ayah mengajak kami untuk pindah yang ke 3 kalinya karena beberapa alasan (yang akan zo ceritakan lebih lengkap di postingan berikutnya). Kali ini keputusan beliau adalah kota Takengon, Aceh Tengah. Mau tak mau zo harus meninggalkan beberapa sahabat baik, saudara baru serta pengalaman semasa kecil yang tak mungkin terlupakan selama berada di Bireuen.

Zo ingin berbagi beberapa informasi menarik tentang tempat-tempat yang dulu hingga sekarang memiliki kenangan tersediri untuk seorang zoe harahap. Dimulai dari tempat kelahiran zo di Padang Sidempuan, kota Bireuen dimana zo menghabiskan masa kecil dan kota Takengon, tempat zo menghabiskan masa remaja yang hingga kini pun masih menjadi tempat tinggal kedua orang tua dan adik-adik.


KOTA PADANG SIDEMPUAN

Kota Padang Sidempuan adalah sebuah kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Kota Padang Sidempuan terkenal dengan sebutan Kota Salak karena banyaknya kebun salak di sana, terutama pada kawasan di kaki Gunung Lubukraya.

Sejarah
Nama kota ini berasal dari "Padang na dimpu" (Padang=hamparan luas, Na=di, dan Dimpu=tinggi) yang berarti "hamparan rumput luas yang berada di tempat yang tinggi." Pada zaman dahulu daerah ini merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah, pedagang ikan dan garam dari Sibolga -Padang Sidempuan-Panyabungan dan Padang Bolak (paluta)- Padang Sidempuan-Sibolga.

Seiring perkembangan zaman, tempat persinggahan ini semakin ramai dan kemudian menjadi kota. Kota ini dibangun pertama kali sebagai benteng pada 1821 oleh pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Lelo. Benteng ini membentang dari Batang Ayumi sampai Aek Sibontar. Sisa-sisa benteng peninggalan Perang Paderi saat ini masih ditemukan, walau sudah tidak terawat dengan baik. Pengaruh pasukan Paderi ini berdampak pada agama yang dianut oleh mayoritas penduduk kota ini, Islam.

Tugu Siborang sebagai Ikon Kota Padang Sidimpuan
Pada zaman penjajahan Belanda, kota Padang Sidempuan dijadikan pusat pemerintahan oleh penjajah Belanda di daerah Tapanuli. Peninggalan bangunan Belanda disana masih dapat dijumpai berupa kantor Pos Polisi pusat kota Padangsidimpuan. Sehingga tidak heran, kalau ingin melihat sejarah kota Padang Sidempuan, tersimpan foto-foto zaman dahulu kota Padang Sidempuan di sebuah museum di kota Leiden, Belanda.

Pemerintahan
Sebelumnya Padang Sidempuan merupakan Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982. Kemudian sejak tanggal 21 Juni 2001, berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2001, Kota Padang Sidempuan ditetapkan sebagai Daerah Otonom dan merupakan hasil penggabungan dari Kecamatan Padang Sidempuan Utara, Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, Kecamatan Padang Sidempuan Batunadua, Kecamatan Padang Sidempuan Hutaimbaru, dan Kecamatan Padang Sidempuan Tenggara yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan

Letak Geografis
Secara geografis, kota Padang Sidempuan secara keseluruhan dikelilingi oleh Kabupaten Tapanuli Selatan yang dulunya merupakan kabupaten induknya. Kota ini merupakan persimpangan jalur darat untuk menuju kota Medan, Sibolga, dan Padang (Sumatera barat) di jalur lintas barat Sumatera.

Topografi wilayahnya yang berupa lembah yang dikelilingi oleh bukit barisan, sehingga kalau dilihat dari jauh, wilayah kota Padang Sidempuan tak ubahnya seperti cekungan yang meyerupai danau. Puncak tertinggi dari bukit dan gunung yang mengelilingi kota ini adalah Gunung Lubuk Raya dan Bukit (Tor) Sanggarudang yang terletak berdampingan disebelah utara kota. Salah satu puncak Bukit yang terkenal di kota padang Sidempuan yaitu Bukit (Tor) Simarsayang. Juga terdapat banyak sungai yang melintasi kota ini, antara lain sungai Batang Ayumi dan Aek Sibontar.

Perekonomian
Penghasilan masyarakat Padang Sidempuan sebagian besar bertani yang meliputi persawahan dan perkebunan. Produksi perkebunan yang utama adalah Salak, Karet, Kopi, Kelapa, Kakao, Cengkeh, Kemiri dan Kulit Manis.

Sarana dan Prasarana
Tepat di pusat kota, terdapat alun-alun yang disebut dengan Alaman Bolak (Halaman Luas), Plaza Anugrah dan Masjid Raya. Kota ini juga memiliki klub sepakbola yang bernama PSKPS (persatuan Sepakbola Kota Padang Sidempuan) yang bermarkas di stadion Naposo. Untuk pengelolaan air bersih di Kota Padang Sidempuan dikelola oleh PDAM Kota Padang Sidempuan dengan menggunakan sistem BNA, dengan sumber air bersih dari sumber air permukaan.

KOTA BIREUEN

Kabupaten Bireuen adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Kabupaten ini menjadi wilayah otonom sejak tahun 2000 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini terkenal dengan julukan kota juangnya, namun sempat menjadi salah satu basis utama Gerakan Aceh Merdeka. Semenjak diberlakukannya darurat militer sejak bulan Mei 2003, situasi di kabupaten ini berangsur-angsur mulai kembali normal, meski belum sepenuhnya. Kabupaten Bireuen juga terkenal dengan emping melinjonya yang khas dan keripik pisangnya.

Per 2004, Bireuen terdiri dari 10 kecamatan yaitu: Ganda Pura, Jangka, Jeumpa, Jeunieb, Juli, Makmur, Pandrah, Peudada, Peusangan dan Samalanga.

Sekarang ini Kabupaten Bireuen terdiri atas 17 kecamatan, yaitu:
1.    Gandapura
2.    Jangka
3.    Jeunieb
4.    Jeumpa
5.    Juli
6.    Kota Juang
7.    Kuala
8.    Kuta Blang
9.    Makmur
10.  Pandrah
11.  Peudada
12.  Peusangan
13.  Peusangan Selatan
14.  Peusangan Siblah Krueng
15.  Plimbang
16.  Samalanga
17.  Simpang Mamplam

Pemandangan jalan dekat stasiun Kereta Api Bireuen (tahun 1900-an)

Pakaian Adat Aceh
Baje ( Pakaian ) Aceh merupakan busana tradisional yang dilengkapi dengan aksesoris. Aksesoris untuk perempuan adalah Baju berwarna merah, sanggul tegak di tengah kepala yang di hiasi dengan Colok o'ek (tusuk Konde)/mahkota, memakai selendang dari kain tenun songket, celana panjang berwarna hitam yang di atasnya dililit sarung songket merah sebatas lutut .

Aksesoris untuk laki-laki adalah baju khas aceh berwarna hitam memaki Topi Meuketop yang menghias kepala, celana panjang warna hitam yang di atasnya dililit kain songket warna merah yang pada pinggang terselip sebilah rencong.

Rumah Adat
Rumah Aceh adalah rumah adat Aceh yang khas dengan bentuk ukiran ornanien Aceh. Rumah Adat antar satu Kabupaten dengan Kabupaten lainnya dalam Provinsi NAD secara kasat mata sama, tetapi bila diteliliti dari seni ukiran yang menghiasi rumah terdapat perbedaan yang nyata.Karena menyimpan makna sejarah, rumah adat ini menjadi salah satu objek wisata yang ramai di kunjungi wisatawan. 

"Rumoh Aceh", Rumah Tradisional Aceh

Tugu Batee Krueng 
Bate Krueng adalah nama salah satu batalyon TII dibawah pimpinan Abdul Hamid atau yang lebih dikenal pada saat itu (Ayah Hamid). Batalyon ini pada masa itu bermarkas di daerah Juli dengan wilayah penguasaan lingkup kewedanaan Bireuen. Dengan bersatunya TII dalam NKRI yang penuh martabat untuk mengenang namanya oleh Pemerintah Kabupaten Bireuen di lambangkan dengan sebuah batu besar yang diambil dari pedalaman Juli dan disandingkan dengan tugu Bungong Jeumpa tepatnya di alun-alun kota Bireuen atau depan Meuligoe Bupati Bireuen.

Tugu Bungong Jeumpa
Tugu ini merupkan titik sentral perjuangan masyarakat kabupaten Bireuen dalam mengusir penjajah dari bumi Serambi Mekkah. Tugu ini sejak berdiri telah mengalami renovasi untuk penyesuaian dengan kondisi bangunan pertokoan. Tugu ini berdiri megah di areal alun-alun Kota Bireuen tepatnya di depan Meuligoe -Bireuen

KOTA TAKENGON

Takengon merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Indonesia. Kawasan ini merupakan dataran tinggi yang berhawa sejuk. Banyak terdapat tempat wisata di kawasan ini, di antaranya adalah Danau Laut Tawar, Puteri Pukes, Pantan Terong.

Seni dan Budaya
Kesenian di daerah ini sangat menarik karena terdapat kesenian Didong yang sangat dikagumi oleh masyarakat Takengon. Salah satu acara yang sangat menarik perhatian masyarakat di dalam daerah maupun di luar daerah ini adalah acara pacuan kuda yang biasanya diadakan pada pertengahan bulan Agustus untuk menyambut dan merayakan hari Kemerdekaaan Republik Indonesia.


SEJARAH
Zaman Penjajahan Belanda
Kedatangan kaum kolonial Belanda sekitar tahun 1904, tidak terlepas dari potensi perkebunan Tanah Gayo yang sangat cocok untuk budidaya Kopi Arabika, Tembakau dan Damar. Pada periode itu wilayah Kabupaten Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Dalam masa kolonial Belanda tersebut di kawasan Takengon didirikan sebuah perusahaan pengolahan Kopi dan Damar. Sejak saat itu pula kawasan Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi Dataran Tinggi Gayo, khususnya Sayuran dan Kopi.

Zaman Penjajahan Jepang
Sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Gun dipimpin oleh Gunco.

Zaman Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi kabupaten.

Kabupaten Aceh Tengah berdiri pada tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-Oendang Nomor 10 Tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-Undang Nomor 7 (Darurat) Tahun 1956. Wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Takengon, Kewedanaan Gayo Lues, dan Kewedanaan Tanah Alas.

Pemekaran Wilayah
Sulitnya transportasi dan didukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Tenggara melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974. Kemudian, pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.
"Umah Pitu Ruang", Rumah Tradisional Adat Gayo (Kemili)
Sumber: Wikipedia Indonesia, Istimewa.

4 komentar:

  1. kereeeeen.... mantabh ah... jadi kangen pulang kampung euy..

    BalasHapus
  2. mengalahkan aq dirimu y zo, tp tetep lah jaoh lebih indah poncan..hehehe..

    note yg bagus..good :)

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Hehehe...
    bukan mau mengalahkan dirimu neng sebagai Duta Poncan, Sibolga.
    zo cuma mau menceritakan tentang kota tempat zo tinggal..
    hehehehe

    BalasHapus